Kamis, 14 Oktober 2010

Arti Sebuah Nama

Apa yang anda bayangkan ketika mendengar nama Muhammad Zaenudin disebutkan?penceramah kondang bersorban yang diarak oleh warga dan disambut oleh pegawai pemerintah daerah dengan musik-musik islami, berjenggot, bergamis, dan juga sering muncul muncul di baliho undangan perayaan hari besar keagamaan layaknya ulama-ulama besar?anda kurang tepat. Zaenudin disini adalah Zaenudin yang tidak menggunakan akhiran MZ seperti yang sering tampil memenuhi layar kaca anda ketika menjelang bedug Magrib di bulan suci Ramadhan atau ada di spanduk undangan pinggir jalan tempat akan diadakannya hari besar keagamaan.
Berawal ketika Zainudin MZ, Ustadz dan penceramah sebenarnya, mendapatkan hadiah sebuah mobil Mercedez-Benz dari orang nomor satu di Indonesia pada waktu itu, Presiden Soeharto. Tepat di momen bahagia itulah makhluk imut, yaitu saya, menghirup udara untuk pertama kalinya di dunia ini. Berangkat dari anugrah inilah yang membuat ayah saya sibuk mencari nama yang tepat untuk anak lelaki terakhir dan satu-satunya ini. Karena ayah saya adalah seorang muslim yang taat sehingga nama yang diberikan kepada semua anaknya selalu di bumbui dengan aroma keislaman. Diyani Alawiyah, Mindiyani Astuti, dan Siti Aisiyah adalah nama kakak-kakak saya yang tidak luput dari kentalnya identitas seorang muslim. Setelah lama berpikir, pada akhirnya Muhammad-lah yang menurut beliau tepat dipasangakan dengan Zaenudin (tanpa MZ tentunya J). Dengan harapan nantinya saya akan menjadi seorang muslim yang taat seperti Nabi Muhammad serta nasib baik yang juga akan selalu bersama saya setiap waktunya seperti peristiwa yang terjadi pada Ust. Zainudin MZ ketika menerima mobil dari presiden ke dua kita waktu itu.
Apa arti sebuah nama?jika Shakesphere menyatakan tiadalah artinya, maka menurut saya adalah sebaliknya.  Nama adalah doa dan harapan yang disematkan kepada pribadi seorang anak. Pastinya tidak mudah menentukan bahwa nama saya, seperti yang saat ini, diputuskan dan diberikan pada saya ketika saat itu. Sehingga saya penasaran apakah makna harfiah yang sebenarnya hingga orang tua saya sulit-sulit menemukan nama ini.  Setelah sibuk mencari, ternyata memang benar nama yang diberikan pada saya maknanya begitu sangat hebat, besar, dan mulia. Muhammad diartikan sebagai berdoa dengan baik, jalan yang tentram, merdeka, bahagia, dan sempurna. Sampai saya ketika mengetahui maknanya dan menulisnya pada artikel ini membuat saya benar-benar ingin meneteskan air mata haru, betapa kuatnya karakter dan harapan yang beliau identitaskan pada saya. Sungguh luar biasa.
Saya adalah pribadi muslim biasa yang tidak terlalu fanatik dalam beragama. Saya tidak pernah berkumpul dalam kluster-kluster besar(berbondong-bondong –red)mengikuti pertemuan bersama habib-habib ternama layaknya seperti yang diadakan di lapangan monas atau tempat lain dengan jenis acara serupa. Saya hanya menjalankan apa yang memang seharusnya saya jalankan (yang wajib saja –red). Karna saya belum mampu menjadikan menu rohani sebagai menu tunggal dan utama untuk dinikmati dalam hidup. Menurut saya, kita juga diciptakan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan non-duniawi tetapi harus menjaga keduanya, duniawi dan non duniawi, agar dua hal tersebut seimbang.
Ayah saya adalah pemuka agama di lingkungan rumah. Di satu sisi nama yang disematkan pada saya ini membuat saya malu jika saya tidak menjalankan agama sesuai syariat. Tetapi disisi lain nama ini menjadi sebuah motivasi khusus bagi saya mengingat makna dan harapan yang berada dibaliknya begitu sangat indah dan mulia.
Saya berencana untuk melanjutkan studi saya di Benua Biru, Inggris ataupun negeri tempat seorang Jendral besar Napoleon Bonaparte tumbuh, ya Perancis. Atau juga negeri tempat suku Indian bertempat, ya benar lagi; Amerika. Sering terdengar di media bahwa seorang muslim yang akan memasuki negeri tersebut mereka akan dipersulit lewat proses-prosesnya. Salah satu proses itu berawal dari identisasi sebuah nama, Muhammad Zaenudin pasti akan berlama-lama dalam proses interogasi jika memasuki bandara negeri-negeri barat tersbut. Pernah terlintas di benak saya pikiran bodoh, “Mungkin Alexander Maximlien baik untuk menggantikan nama saya sekarang, atau Lionel Frederick Kanoute seperti halnya gabungan dua nama pesepak bola besar di benua Eropa, sepertinya juga terdengar lebih keren”. Tetapi saya berpikir bahwa bodoh jika saya hanya berorientasi pada hal-hal kecil yang tidak layak untuk dipersoalkan berkaitan dengan nama ini. Jika dibandingkan kembali kepada makana dan harapan orangtua saya yang besar, indah, gilang gemilang terhadap nama ini.
Jadi menurut pendapatmu, masih pentingkah arti sebuah nama? Kalau saya sih sangat J

Senin, 04 Oktober 2010

Timbulnya Kenakalan Remaja Ditinjau dari Teori Penerapan Pola Asuh

Belakangan ini, kasus-kasus kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia menjadi sungguh sangat memprihatinkan. Fakta dari Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2009 menyatakan bahwa 7% dari pelaku penyalahgunaan Narkotik, Psikotropika, dan Bahan zat adiktif (Narkoba) dari tahun 2001 hingga tahun 2008 di Indonesia adalah remaja berusia kurang dari sembilan belas tahun. Disimpulkan pula bahwa, rata-rata kenaikan jumlah kasus penyalahgunaan narkoba ini kurang lebih sekitar 2% tiap tahunnya. Bayangkan jumlah remaja di Indonesia, mencapai kurang lebih 65 juta remaja, yang bisa hancur akibat Narkoba dengan sangat cepat melihat fakta yang terjadi begitu memprihatinkan.
Informasi berkategori yang sama, menurut lembar fakta yang diterbitkan pada tahun 2006 oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Nasional (PKBI), United Nation Population Fund (UNFPA), dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatatkan bahwa 15% dari remaja berusia 10-24 tahun di Indonesia, kurang lebih 9,3 juta remaja, telah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Sedangkan masih menurut lembar fakta yang sama, terdapat 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia. Lebih mencengangkan lagi, sekitar 20 persen dari kasus aborsi tersebut atau sekitar 460 ribu kasus dilakukan oleh remaja. Mengejutkan bukan, bangsa kita yang notabene adalah bangsa yang dilihat sangat menjunjung tinggi asas kepatuhan terhadap nilai-nilai agama dan kesusilaan, di kesehariannya menjadi begitu kontras dengan aplikasi prinsip dasar dari nilai-nilai tersebut.
Kemudian apa yang salah sehingga membuat remaja tersebut bisa berpikir dan melakukan tindakan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan kondisi norma dari bangsa beradab yang menjunjung tinggi etika dan estetika dalam kehidupan sosialnya ini.
Kita harus kembali menilik sejenak mengenai pengertian dari apa itu remaja dan kenakalan remaja. Sehingga kita bisa menarik tindakan preventif yang menyesuaikan dengan kondisi remaja pada masanya atau kontekstual dengan pribadi mereka berdasarkan pengertian tersebut.
Pengertian remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang penuh dengan ketidakmenentuan sikap karena pengaruh dari perkembangan intrinsik; biologis, kognitif, sosioemosional, ataupun ekstrinsik; lingkungan, teman, yang selalu dinamis. Pengertian ini diperkuat oleh Hall (1904, dalam Santrock, 2008) yang mengutarakan bahwa masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perasaan yang fluktuatif. Erick Erikson dalam teori psikososialnya menyatakan bahwa masa remaja adalah masa dimana seseorang mencari tahu diri mereka, seperti apakah mereka, dan kemanakah orientasi hidup mereka kelak (1968, dalam Santrock, 2009). Berdasar pengertian-pengertian tersebut diatas, masa remaja menjadi begitu sangat krusial sehingga dibutuhkan perhatian yang lebih oleh konteks sosial terdekat mereka. Hal ini dimaksudkan agar remaja mengatakan tidak dengan tegas dalam menentukan sikap untuk melakukan perilaku penyimpangan sosial.
Lalu bagaimana dengan pengertian kenakalan remaja?. Santrock (2008) menyatakan bahwa kenakalan remaja adalah keluasan rentang perilaku; dari perilaku sosial yang tidak diterima hingga tindakan yang melanggar hukum. Remaja nakal biasanya cenderung lebih ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, memiliki kontrol diri yang kurang, tidak memiliki orientasi pada masa depan, dan kurangnya kemasakan sosial sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (Maria, 2007). Dapat diambil kesimpulan bahwa tendensi kenakalan remaja adalah perilaku cacat sosial, bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, yang dilakukan oleh individu remaja yang disebabkan oleh terabaikannya individu remaja tersebut oleh sebuah sistem sosial. Sehingga hal ini menjadi sebuah gangguan bagi kualitas kehidupan sosial antar anggota masyarakat. Contoh-contoh kenakalan remaja diantaranya tawuran, perilaku seks bebas, penyalahgunaan narkoba, merokok, dan lain-lain.
Dari pengertian remaja dan kenakalan remaja tersebut diatas, keluarga merupakan cakupan interaksi terbesar dalam keseharian seorang remaja. Peran keluarga menjadi begitu besar melihat kelabilan jiwa remaja dan kurangnya kematangan sosial individu remaja dalam sebuah kehidupan sosial bermasyarakat. Keluargalah yang membentuk seorang individu itu akan menjadi seperti apa. Astuti (2005) menyatakan bahwa keluarga merupakan tempat pertama kali anak belajar menyatakan diri sebagai makhluk sosial dalam berinteraksi dengan kelompoknya. Sehingga keluargalah yang dinilai penulis untuk sangat bisa meminimalisir hadirnya perilaku kenakalan remaja.
Dalam sebuah keluarga, orangtua memiliki peran yang sangat penting untuk membimbing anak-anaknya dalam menjalani setiap tahap perkembangannya. Sehingga apapun kondisi yang berkaitan dengan orangtua menjadi begitu sangat signifikan dalam proses timbul atau tidaknya suatu prilaku kenakalan remaja. Berkaitan dengan hal itu, proses keluarga distratifikasikan kedalam; pendidikan yang dimiliki oleh orangtua, kondisi keutuhan orangtua, status ekonomi orang tua (SSE), dan pola asuh yang diterapkan oleh orangtua (Santrock, 2009). Proses keluarga ini yang menurut penulis juga sangat bisa menyebabkan hadirnya perilaku antisosial remaja.
Berdasar stratifikasi proses keluarga diatas, dalam makalah ini penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas mengenai kenakalan remaja dan hubungannya dengan pola asuh yang diterapkan oleh orangtua. Karena berdasarkan studi literatur yang dilakukan penulis, penulis menyimpulkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orangtua memiliki pengaruh yang besar tidak hanya terhadap motivasi, self-efficacy, dan performa akademik seorang remaja tetapi juga berelasi terhadap tingkat keresahan atau kegelisahan dan masalah psikologis anak remaja atau kenakalan remaja (Chadler, Heffer, &Turner, 2009; Azhar, Dorso, Renk, &Silva, 2007).
Dengan pembatasan masalah di atas, penulis melontarkan sebuah pertanyaan yaitu pola asuh seperti apakah yang dapat meminimalisir frekuensi terjadinya tindak perilaku penyimpangan sosial anak?.
Penulis mengajukan sebuah thesis, bahwa pola asuh otoritatif adalah pola asuh terbaik yang bisa diterapkan untuk meminimalisir frekuensi terjadinya tindak perilaku penyimpangan sosial anak.
Penulis beralasan memilih topik ini dikarenakan takut melihat angka kenakalan remaja yang begitu besar; apakah kontribusi dari konteks sosial (contoh: keluarga dan sekolah) anak sudah cukup maksimal dalam meminimalisir angka ini. Penulis juga berfikir bagaima bisa remaja belajar dengan kondusif di dalam kelas jika mereka diluar suka melakukan tindakan penyimpangan, narkoba, tawuran, seks bebas, dan lain lain, apakah tidak terbawa ke dalam situasi belajar. lalu bagaimana dengan hasil belajar anak remaja berprilaku menyimpang, bagaimana dengan masa depan mereka. Perlu adanya sebuah gerakan yang memberikan perhatian  berupa tindakan antipati, eksplorasi, dan tindakan preventif  terhadap hadirnya perilaku penyimpangan sosial yang meresahkan ini.
Dengan adanya tulisan ini, penulis juga bertujuan untuk menambah wawasan kepada para orangtua berupa pola asuh yang tepat, secara teori dan hasil penelitian, untuk diterapkan kepada anak-anak mereka. Sehingga, orangtua bisa meminimalisir frekuensi timbulnya kenakalan di kalangan anak-anak mereka.
Pembahasan
Sebelum lebih jauh mari kita lihat definisi dari pola asuh. Menurut  Darling& Stainberg (1993, dalam Basembun, 2008) yang mendefinisikan bahwa gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek, dan ekspresi non-verbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak, sepanjang situasi berkembang. Penulis berpendapat bahwa Pola asuh merupakan keputusan orangtua dalam mendidik anaknya dengan jalan tertentu yang merupakan praktek sosialisasi keluarga terhadap anaknya dalam mengisi tahap perkembangan anak.
Pada dasarnya setiap pola asuh yang diterapkan oleh orang tua memiliki dampak yang besar terhadap tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tepat dipilih untuk diterapkan oleh orang tua, memiliki dampak berupa dapat meningkatkan kepercayaan diri anak, mengurangi permasalahan yang berkaitan dengan perilaku, dan meningkatkan performa akademik di sekolah (E. Gracia &F. Gracia, 2009). Akan tetapi, jika tidak tepat pola asuh ini akan menjadi bumerang bagi orang tua itu sendiri yang dicerminkan dari kegagalan tahap perkembangan anak secara sosial berupa hadirnya tindakan kenakalan remaja.
Terdapat beberapa jenis gaya pola asuh. Seorang ahli pola asuh terkemuka, Diana Baumrind (1996, dalam Santrock, 2009, h.100-101) menyatakan bahwa, terdapat empat jenis atau bentuk utama gaya pengasuhan, diantaranya:
Pola Asuh Otoritarian (Authoritarian Parenting Style)
Gaya pola asuh ini bersifat membatasi dan menghukum, mendesak anak untuk mengikuti kata orangtua mereka, harus hormat pada orangtua mereka, memiliki tingkat kekakuan (strictness) yang tinggi, dan memiliki intensitas komunikasi yang sedikit. Baumrind (1996, dalam Santrock, 2009) menyatakan bahwa anak yang dididik secara otoritarian ini memiliki sikap yang kurang kompeten secara sosial, keterampilan komunikasi yang buruk, dan  takut akan perbandingan sosial. Dengan gaya otoritatif seperti ini anak dimungkinkan memberontak karena tidak terima atau bosan dengan pengekangan. Karena remaja cenderung ingin mencari tahu tanpa mau dibatasi. Dengan pola asuh ini, probabilitas munculnya perilaku menyimpang pada remaja menjadi semakin besar.
Pola Asuh Otoritatif (Authoritatve Parenting Style)
Menurut Chadler et al. (2009) gaya pola asuh ini memiliki karakteristik berupa intensitas tinggi akan kasih sayang, keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orangtua terhadap anak, nalar, serta mendorong pada kemandirian. Orangtua yang menerapkan pola asuh seperti ini memiliki sifat yang sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada anak tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan anak menentukan keputusan yang tepat dalam hidupnya. Anak yang dididik dengan pola asuh ini memiliki tingkat kompetensi sosial yang tinggi, percaya diri, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, akrab dengan teman sebaya mereka, dan mengetahui konsep harga diri yang tinggi. Sehinnga Baumrind (1996, dalam Santrock, 2009), pencetus teori ini, sangat mendukung sekali penerapan pola asuh ini di rumah. Karakteristik pola asuh ini dapat mengimbangi rasa keingintahuan remaja. Sehingga proses anak dalam menimbulkan perilaku tindakan antisosial cenderung bisa dibatasi. Karena walaupun anak dibebaskan, orangtua tetap terlibat dengan memberi batasan berupa peraturan yang tegas.
Pola Asuh Mengabaikan (Neglectful Parenting Style)
Pola asuh ini bercirikan orangtua yang tidak terlibat dalam kehidupan anak karena cenderung lalai. Urusan anak dianggap oleh orangtua sebagai bukan urusan mereka atau orangtua menganggap urusan sang anak tidak lebih penting dari urusan mereka. Baumrind (1971, 1996, dalam Santrock 2009) menyatakan anak yang diasuh dengan gaya seperti ini cenderung kurang cakap secara sosial, memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk, tidak memiliki kemandirian diri yang baik, dan tidak bermotivasi untuk berprestasi. Dalam konteks timbulnya  perilaku penyimpangan oleh remaja, pola asuh seperti ini menghasilkan anak-anak yang cenderung memiliki frekuensi tinggi dalam melakukan tindakan anti sosial. Karena mereka tidak biasa untuk diatur sehingga apa yang mereka mau lakukan, mereka akan lakukan tanpa mau dilarang oleh siapapun.
Pola Asuh Memanjakan (Indulgent Parenting Style)
Pola asuh seperti ini membuat orang tua menjadi sangat terlibat dengan anak-anak mereka. Mereka menuruti semua kemauan anak mereka, dan sangat jarang membatasi perilaku anak mereka. Anak yang dihasilkan dengan pola asuh seperti ini, merupakan anak-anak yang sulit untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri, karena terbiasa untuk dimanja (Diana Baumrind, 1996, dalam Santrock, 2009). Anak-anak ini dapat seenaknya untuk melakukan tindakan perilaku menyimpang, karena terbiasa dengan system “apa saja dibolehkan”. Sehingga kemungkinan timbul dan terulangnya perilaku menyimpang menjadi sangat besar.
Otoritatif, yang Terbaik?
Pola asuh otoritatif memang banyak memiliki kelebihan dari jenis pola asuh lain. Pola asuh ini sangat dikenal sebagai pola asuh yang paling berhasil untuk menghindarkan anak dari kenakalan remaja, meningkatkan self-esteem, motivasi, dan kesuksesan akdemik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chadler et al. (2009) memperlihatkan bahwa pola asuh otoritatif membuat anak sukses secara akademik, hasil nilai yang lebih tinggi di sekolah, dan kepercayaan diri yang tinggi. Tidak salah jika Diana Baumrind, pencetus teori ini, sangat mendukung penerapan pola asuh otoritatif ini.
Kepercayaan diri yang tinggi, teman yang banyak dan akrab, orangtua yang perhatian, individu yang cerdas di sekolah, membuat remaja cenderung bisa menahan diri dari perilaku penyimpangan. Pola asuh otoritatif juga membuktikan bahwa semakin banyak kebebasan, tuntutan, dan dukungan serta keterlibatan yang disediakan oleh orang tua membuat remaja ulet secara akademik (Chadler et al., 2009). Komposisi karakter yang dikedepankan untuk mendidik anak menjadi idaman bagi setiap anak untuk memiliki orangtua yang menrepkan pola asuh seperti ini. dengan ulet secara akademik ini maka hasil belajar yang didapat menjadi optimal. Baumrind dan Black (1967, dalam Chadler et al., 2009) menyatakan bahwa otoritatif memiliki asosiasi (keterkaitan) positif dengan performa akademik, sedangkan otoritarian dan permisif memiliki asosiasi sebaliknya.
Tetapi apa harus selalu otoritatif?. Dalam sebuah jurnal dipaparkan bahwa pola asuh yang memanjakan memiliki hasil yang lebih optimal dibandingkan dengan pola asuh lain, termasuk pola asuh otoritatif (E. Gracia &F. Gracia, 2009). Pola asuh ini digambarkan sebagai pola asuh yang tepat karena campuran dari rendahnya kekakuan (strictness) dan tingginya level kehangatan keluarga. Di beberapa negara Eropa bagian selatan, Amerika Selatan, dan juga konteks kultural lain remaja dari hasil penerapan pola asuh memanjakan (indulgent parenting style) menampilkan performa yang sama atau bahkan lebih baik dari remaja hasil didikan orang tua otoritatif (E. Gracia &F. Gracia, 2009). Dengan kehangatan lebih yang diberikan orangtua dan rendahnya kekakuan, pola asuh memanjakan  membuat anak bisa secara alami menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang seharusnya mereka pergunakan dengan sebaik mungkin. Sehingga dapat ditarik kesimpulan dari penelitian yang dilakukan E. Gracia &F. Gracia (2009) bahwa remaja yang dididik dengan pola asuh yang memanjakan cenderung lebih bisa menahan diri dari perbuatan perilaku menyimpang.
Pola asuh memanjakan, jika dibandingkan dengan pola asuh lain yang dikemukakan oleh Baumrind, teori pola asuh ini dinilai memiliki hasil yang lebih positif. Dibandingkan dengan pola asuh otoritatif, anak yang dididik dari orangtua yang memanjakan memiliki kelebihan dalam hal adaptasi emosi dan pencapaian prestasi akademik. Anak yang dididik oleh orangtua yang menerapkan pola asuh memanjakan, cenderung lebih bisa bertanggung jawab secara emosional, memiliki kepercayaan diri yang tinggi secara emosional, dan memiliki performa yang baik dalam hal pencapaian nilai di kelas (E. Gracia &F. Gracia, 2009).
Akan tetapi Baumrind sendiri (1996, dalam Santrock, 2009) menyatakan bahwa orangtua yang memanjakan tidak mempertimbangkan perkembangan diri anak secara menyeluruh. Menurut penulis, hal ini merupakan kekurangan dari teori pola asuh memanjakan, jika dilihat dari kemurnian makna dan konteks penerapan pola asuh memanjakan ini di kehidupan nyata sekarang.
Dari satu pihak otoritatif dipandang lebih baik, dilain pihak teori pola asuh memanjakan juga dipandang lebih baik. Lalu pola asuh manakah yang paling baik untuk diterapkan. Dalam konteks yang umum, ternyata bisa diambil kesimpulan bahwa pola asuh yang paling baik adalah pola asuh yang memiliki karakteristik kombinasi antara tingginya intensitas pemberian kehangatan oleh keluarga, keterlibatan orangtua, rendahnya kekakuan (strictness), situasional dan kontekstual terhadap kondisi anak, serta tidak berpaku pada satu jenis karakteristik pola asuh tertentu. Dengan pemilihan pola asuh yang tepat, hasil negatif berupa kenakalan remaja, penyimpangan perilaku, delinquen, dan yang sejenisnya bisa diminimalisir karena orangtua dan remaja merasa dilibatkan. Serta orangtua dan anak mereka bisa saling memberi perhatian lebih satu sama lain.
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa terdapat empat jenis pola asuh menurut Baumrind (1996, dalam Santrock 2009) diantaranya;
Pola asuh otoritatif dikenal sebagai yang paling berhasil untuk menghindarkan remaja dari kenakalan remaja, meningkatkan self-esteem, motivasi, dan kesuksesan akdemik. Hal ini dikarenakan orang tua otoritatif sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada remaja tetapi tetap memberi batasan mengarahkan anak menentukan keputusan yang tepat dalam menghindari mereka melakukan tindak penyimpangan.
Akan tetapi, teori pola asuh memanjakan dibandingkan dengan teori pola asuh lain dinilai memiliki hasil yang lebih positif, hal ini dikarenakan pola asuh ini memiliki sifat campuran dari rendahnya kekakuan (strictness) dan tingginya level kehangatan keluarga. Remaja yang dididik dengan pola asuh memanjakan cenderung lebih bisa menahan diri dari perbuatan perilaku menyimpang.
Tetapi, dinilai oleh salah satu seorang ahli pola asuh terkemuka bahwa pola asuh memanjakan tidak memperhatikan perkembangan menyeluruh remaja. Anak hasil didikan pola asuh memanjakan sulit untuk mengendalikan prilaku mereka sendiri karena terbiasa untuk dimanjakan.
Setelah dibandingkan dengan pola asuh lain berdasar hasil penelitian yang ada, dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh yang kontekstual, fleksibel, aplikatif, merupakan kombinasi dari kehangatan keluarga, memberikan intensitas keterlibatan orangtua yang tinggi, dan rendahnya asas kekauan (strictness) merupakan pola asuh yang bisa menjadi solusi terbaik dalam meminimalisir timbulnya kenakalan remaja.
Ternyata pola asuh otoritatif belum tentu yang paling baik untuk diterapkan dalam hal meminimalisir frekuensi terjadinya tindak perilaku penyimpangan sosial anak. Pola asuh ini masih menyimpan kelemahan-kelemahan dan dampak negatif jika dihadapkan dalam konteks tertentu. Dan hal itu berarti bertentangan dengan thesis yang diajukan penulis.
Ada baiknya kita bijaksana dalam menyikapi permasalahan kenakalan remaja ini. Dengan hasil pembahasan makalah ini, orangtua diharapkan mulai bercermin apakah pola asuh yang diterapkan telah sesuai, optimal, juga apakah telah memberikan kontribusi terhadap peminimalisiran perilaku menyimpang pada remaja. Refleksi diri adalah hal yang paling penting untuk menghasilkan hal terbaik sesuai yang diinginkan.


Daftar Pustaka
Astuti, R. D. (2005). Pengaruh Pola Asuh Orangtua Terhadap Kemandirian Siswa dalam Belajar pada Siswa Kelas XI SMA Negeri Sumpiuh Kabupaten Banyumas Tahun Pelajaran 2005/2006: Skripsi Sarjana, tidak diterbitkan. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Azhar, A., Dorso, E., Renk, A., & Silva, M. (2007). The Relationship among Parenting Styles Experienced during Childhood, Anxiety, Motivation, and Academic Success in College Students. [Versi Elektronik]. Journal college student retention, 9, 149-167.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. (2006). Tiap Tahun 15 Juta Remaja Melahirkan. http://www.bkkbn.go.id/popups/printRubrik.php?ItemID=517. Terbit 30 Desember 2006. diunduh pada tanggal 19 Juni 2010.
Badan Narkotika Nasional. (2009). Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia. http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=DataKasus&op=detail_data_kasus&id=29&mn=3&smn=c. Terbit Januari 2009. diunduh pada tanggal 19 Juni 2010.
Chandler, M., Heffer, R.W., & Turner,E.A. (2009). The Influence of Parenting Styles, Achievment Motivation, and Self-efficacy on Academic Performance in College strudents. [Versi Elektronik]. Journal of College Student Development, 50, 337-346.
Gracia, E. &Gracia, F. (2009). Is Always Authoritative The Optimum Parenting Style? Evidence from Spanish Family. [Versi Elektronik]. ProQuest Education Journals, 44, 101-131.
Besembun, I., (2008). Gaya Pola Asuh Orangtua: Thesis Magister, tidak diterbitkan. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Persada Indonesia- YAI, Jakarta.
Maria, U. (2007). Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan konsep Diri Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja: Thesis Magister, tidak diterbitkan. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Negeri Gadjah Mada, Jogjakarta.
Santrock, J.W. (2009). Psikologi Pendidikan. (A.Diana. Terj.) Jakarta: Salemba Humanika. (Karya asli diterbitkan).
Santrock, J.W. (2008). Adolesecence. New York: McGraw-Hill.