Berdasarkan situs resmi Menkokesra (5/6/09), Indonesia berada di tingkat 109 dari 179 negara dalam indeks perkembangan manusia (HDI; Human Development Index) di bawah Malaysia, Thailand, Philipina, dan Singapura (2006).
Indeks ini dapat digunakan untuk menentukan ranking kesejahteraan suatu bangsa dibandingkan dengan bangsa lain. Termasuk indikator di dalamnya adalah kesejahteraan yang diukur dari sumber daya manusia sebagai produk hasil proses pendidikan.
Ranking tersebut mengindikasikan bahwa sumber daya manusia Indonesia berada dalam level rendah.
Sumber daya manusia Indonesia yang berada dalam level rendah tersebut juga memberi isyarat bahwa pengaturan sistem pendidikan kita berada pada tingkat yang miris bila disandingkan dengan jumlah total populasi manusia yang ada di negeri ini sekarang.
Hadirnya Ujian Nasional
Hadirnya ujian nasional (UN) berdasarkan UU No. 23 Thn 2003 selama lima tahun belakangan, yang diselenggarakan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), membuat sistem pendidikan Indonesia kian terpuruk. Hadirnya UN dinilai banyak kalangan tidak menghargai proses belajar anak didik.
Mengapa UN bisa mengacaukan konstruksi proses pembelajaran atau dengan kata lain hasil proses belajar menjadi tidak efektif?
Kurang Mengeksplorasi Kemampuan Berpikir
Sistem penilaian seperti UN hanya menilai kemampuan yang berorientasi pada ranah kognitif. Terabaikannya aspek-aspek afektif seperti kreatif, mandiri, inovatif, dan juga demokratis merupakan hal yang tidak bisa dihindari.
Menurut Caesillia Ika Widanti M. Psi. dosen Psikologi Pendidikan di Sampoerna School of Education, “Soal-soal UN merupakan soal pilihan ganda yang tidak mengeksplorasi tingkat pemahaman siswa yang lebih tinggi, artinya soal tersebut kurang menggali kemampuan berpikir anak”.
Hal ini menjadikan esensi proses belajar dan mengajar yang berisikan bukan hanya materi pengajaran tetapi juga kearifan sosial anak didik menjadi tidak bermakna sama sekali. Dengan UN, siswa didrill untuk mengerjakan soal-soal pilihan ganda yang sudah memiliki pola-pola tertentu, sehingga kreativitas siswa cenderung dibatasi.
Penilaian Pemahaman Tidak Menyeluruh
Sistem penilaian eksesif objektif seperti UN ini tidak memfasilitasi siswa dan siswi yang memiliki kemampuan di luar kemampuan kognitif. UN tidak bisa menjadi barometer kemampuan anak, karena sistem penilaian seperti ini tidak menjangkau sisi pemahaman anak didik secara menyeluruh.
Semisalnya anak yang pintar dalam bidang olahraga dan seni belum tentu pintar di bidang matematika yang notabene akan diujikan dalam UN.
UN hanya akan membuat mental siswa seperti mereka terjerembab dalam degradasi mental dan moral yang dapat memaksa mereka melakukan hal-hal di luar dugaan, menghilangkan potensi lain selain potensi akademis yang ada pada orang-orang tersebut, dan juga akan menambah permasalahan baru yang berkaitan dengan dampak psikologis terhadap siswa-siswi tersebut.
“Stres dengan ujian nasional dan pemahaman bahwa ujian adalah suatu momok yang menakutkan adalah dampak psikologis yang tidak bisa dihindari bagi siswa”, tutur mantan mahasiswi UNDIP Semarang, jurusan Psikologi tersebut.
Jangan heran setelah UN diselenggarakan, menjelang dan setelah hasil UN diumumkan kita acap kali mendengar aksi bunuh diri dan serangan trauma psikis di seluruh pelosok tanah air, yang pada tahun 2006 saja Komnas Anak mencatat sedikitnya 100 anak menderita trauma psikis akibat gagal UN (Detik, 24/06/07).
Kesenjangan Kualitas Pendidikan
Berdasarkan laporan yang dilansir dari suatu media cetak nasional pada tahun 2009, terdapat 19 SMA di seluruh pelosok tanah air yang muridnya dinyatakan gagal 100 persen.
Data ini kontras dengan data yang diperoleh dari situs lembaga swadaya masyarakat (LSM) tentang ujian nasional tahun lalu, yang menyatakan bahwa DKI Jakarta menempati urutan tertinggi kelulusan.
Data ini mengindikasikan bahwa terdapat kesenjangan dari pemerataan kualitas pendidikan Indonesia.
Pendidikan di Jakarta sangat baik dengan infrastruktur yang mendukung, tenaga pengajar yang memadai, serta dana yang sangat melimpah dari Pemda DKI Jakarta menimbulkan kesenjangan yang ada menjadi begitu terlihat.
Tidak adil jika standar yang digunakan oleh daerah yang sangat terbatas dalam infrastruktur belajar, tenaga pengajar dan lain-lain tersebut diseragamkan sistem penilaiannya oleh daerah yang sangat cukup secara kualitas dan kuantitas pendidikan.
Fungsi evaluasi
Dalam hal ini, fungsi evaluasi berperan dalam pengukuran pencapaian hasil pembelajaran siswa. Esensi utama ujian nasional adalah untuk mencapai tujuan tersebut.
Jangan sampai UN malah memaksa siswa dan siswi untuk menelan pembelajaran yang monoton dengan soal karena tuntutan sistem, tidak mengembangkan potensi diri mereka, dan sangat dekat dengan prospek stres dan unsur kriminalitas yang hanya membuat masalah baru bagi masa depan siswa-siswi nantinya.
“UN harus dikombinasikan dengan penilaian yang lain agar bisa lebih fair, dan jadikan UN ini sebagai fungsi evaluasi bagi pemerintah daerah dalam aktivitas pendidikan di daerahnya” lanjut Caesillia, dosen yang menggeluti bidang psikologi anak tersebut.
Walaupun ada baiknya menggunakan UN sebagai penyeragaman sistem penilaian sekolah di tanah air, tetapi pada akhirnya kita kembalikan pada persiapan pemerintah dalam mendukung sistem yang dibuatnya tersebut.